"Hasil stress test dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan bahwa rupiah yang sudah menyentuh level 13.000/USD belum berdampak signifikan bagi sektor keuangan"
Coba
tengok data cadangan devisa kita yang telah menyentuh 115 miliar USD
yang setara dengan kemampuan 7 bulan impor. Belum lagi deflasi yang
terjadi selama bulan januari dan februari 2015 serta IHSG yang terus
merangkak naik. Hasil stress test dari Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) juga menunjukkan bahwa rupiah yang sudah menyentuh level
13.000/USD belum berdampak signifikan bagi sektor keuangan.
Rupiah
memang terdepresiasi cukup dalam terhadap USD, namun mengalami
apresiasi pada beberapa mata uang utama dunia seperti misalnya Yen dan
Dolar Australia.
Namun fakta
menyejukkan ini tidak lantas bisa membuat pemerintah kehilangan
kewaspadaannya. Coba saja ingat betapa jumawanya pemerintah pada tahun
1995 dan 1996. Untuk ukuran pada saat itu, pemerintah dengan lantangnya
mengklaim bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih sangat siap.
Hal
tersebut menyebabkan pemerintah abai mencegah potensi krisis. Meminjam
perkataan Profesor Iwan Jaya Azis dalam sebuah diskusi, “volatilitas
adalah sebuah kepastian”, dimana bisa kita interpretasikan bahwa krisis
itu suatu hal yang mendekati pasti.
"Coba saja ingat betapa jumawanya pemerintah pada tahun 1995 dan 1996. Untuk ukuran pada saat itu, pemerintah dengan lantangnya mengklaim bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih sangat siap"
Celakanya,
pemerintah malahan membuat pernyataan-pernyataan yang justru
menimbulkan sinyalemen negatif ke pasar dus membuat rupiah berpotensi
menukik lebih dalam.
Melihat data,
sesungguhnya tren depresiasi rupiah yang kita hadapi sekarang merupakan
buah dari kegagapan struktural serta abainya pemerintah dalam melihat
gejala-gejala pemburukan. Memang benar bahwa tekanan eksternal juga
memiliki peran untuk menekan tren depresiasi ini, salah satu yang paling
signifikan tentunya isu mengenai berakhirnya proses stimulus moneter di
Amerika Serikat (tapering off) menyusul perkembangan positif dari angka pengangguran yang berkurang dan inflasi yang mereda.
Tetapi,
faktor eksternal berada diluar ruang kontrol pemerintah, sehingga
jawabannya adalah dari sisi penguatan internal, sesuatu yang tampaknya
luput cukup lama dari perhatian pemerintah.
Defisit
akun semasa yang mulai kelihatan sejak tahun 2012 merupakan salah satu
faktor yang berkontribusi cukup signifikan terhadap pemburukan nilai
rupiah dewasa ini. Buruknya performa ekspor ditenggarai merupakan biang
keladinya.
Ekspor yang berkinerja
buruk tentu merupakan imbas dari terlalu bergantungnya Indonesia
terhadap ekspor komoditas. Tentunya kita harus mafhum bahwa ekspor
komoditas yang miskin nilai tambah tidak bisa dijadikan pegangan di
jangka panjang.
Lantas jika kita
sudah paham bahwa ekspor produk-produk yang miskin nilai tambah ini
tidak dapat dijadikan tempat bersandar, mengapa tidak kita coba beralih
ke barang-barang yang memiliki nilai tambah? Disinilah kelihatan abainya
pemerintah.
Nilai tambah dalam
sebuah produk tidak akan bisa diciptakan tanpa adanya proses penguatan
industri. Celakanya, selepas krisis terdahulu kita seakan terlena oleh
ekspor komoditas yang memang meningkat secara signifikan sebagai akibat
melemahnya nilai tukar rupiah.
"Celakanya, selepas krisis terdahulu kita seakan terlena oleh ekspor komoditas yang memang meningkat secara signifikan sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah"
Ekonomi dibiarkan berjalan dengan Business as Usual
sehingga proses industrialisasi menjadi terlupakan. Faktanya, Indonesia
kini mengalami gejala de-industrialisasi yang cukup mengkhawatirkan.
Jika porsi manufaktur terhadap PDB ditahun 2001 masih sebesar 29 persen,
maka di tahun 2014 justru mencapai titik terendahnya yaitu sebesar 23
persen.
De-industrialisasi ini
terjadi sebagai akibat dari gagalnya proses pembangunan infrastruktur
penopang Industri. Coba tengok, peringkat Logistic Performance Index
(LPI) Indonesia masuk dalam kategori buruk (peringkat 59), dan di
wilayah ASEAN harus berada di bawah Vietnam (peringkat 53), Filipina
(peringkat 52), Thailand (peringkat 38), Malaysia (peringkat 29) dan
Singapura (peringkat 1).
Sebagai
perbandingan, biaya ekspor perkontainer di Indonesia adalah sebesar 615
USD sementara di Singapura biayanya hanya sebesar 415 USD. Kongesti yang
buruk di pelabuhan adalah salah satu sebab dari mahalnya biaya ekspor
ini.
Sementara itu, sebagai bahan
perbandingan lagi di tahun 2013, Indonesia yang memiliki 16.000 pulau
hanya memiliki 14.267 kapal (tankers, curah, kargo, kontainer) sementara
Singapura yang ukurannya tidak lebih besar dari Jakarta memiliki 89.697
kapal.
Buruknya logistik di
Indonesia tentunya merupakan sebuah permasalahan struktural yang mesti
dibenahi, jika tidak gejala pelambatan ekspor yang sudah berlangsung
sejak tahun 2012 akan terus membebani perekonomian.
Telah
terjadi pembiaran, jika saja pemerintah serius membangun infrastruktur
dari sejak awal, tentu episode de-industrialisasi bisa di reverse. Dengan industrialiasi, depresiasi rupiah tentu bisa diminimalisir secara internal.
Sehingga bisa kita lihat bahwa depresiasi rupiah sebenarnya merupakan sebuah symptoms dari permasalahan struktural. Symptoms ini memang bisa di obati dalam jangka pendek yaitu dengan kebijakan suku bunga.
Suku
bunga yang tinggi diharapkan dapat mencegah arus modal keluar sehingga
depresiasi nilai tukar bisa mereda. Namun, tanpa adanya penanganan
segera pada permasalahan mendasarnya, kemampuan suku bunga dalam meredam
depresiasi semakin lama semakin berkurang.
Hal
ini ditandai oleh semakin kecilnya elastisitas suku bunga terhadap
apresiasi nilai tukar. Dalam jangka panjang, suku bunga yang terlalu
tinggi tentu akan semakin membebani perekonomian dan menghancurkan dunia
usaha.
Lantas apa yang harus
dilakukan pemerintah? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Dalam
jangka pendek, pemerintah bersama Bank Indonesia bisa fokus untuk
mengatasi volatilitas dengan kebijakan suku bunga yang terukur.
"Telah terjadi pembiaran, jika saja pemerintah serius membangun infrastruktur dari sejak awal, tentu episode de-industrialisasi bisa di reverse. Dengan industrialiasi, depresiasi rupiah tentu bisa diminimalisir secara internal"
Berdasarkan perhitungan dari Research Intelligence Unit (RIU) FEB UI, rupiah bisa bouncing ke level 12.500 per USD jika terjadi kenaikan gradual dari BI rate sebesar 50 hingga 100 basis point. Hal ini tentu akan berdampak dalam jangka pendek dengan terkontraksinya pertumbuhan ekonomi.
Dengan
intervensi ini, maka pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya akan tumbuh
maksimal 5.2 persen. Namun hal ini perlu dilakukan dalam jangka pendek
mengingat pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6 persen berpotensi
melebarkan deficit akun semasa.
Dalam
jangka menengah, pemerintah bisa mencegah potensi krisis dengan
menerapkan pajak proporsional terhadap portfolio investment. Semakin
lama waktu jatuh temponya maka semakin rendah pajaknya dan sebaliknya
untuk mencegah sudden capital reversal. Hal serupa telah berlaku di Korea Selatan.
Sementara itu pemerintah sudah bisa memulai investasi pada pembangunan infrastruktur yang didanai oleh APBN dan juga melalui public private partnership, di mana efeknya diharapkan akan menguatkan fondasi ekonomi Indonesia di jangka panjang.
No comments:
Post a Comment